RASULULLAH Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah karena beberapa hal. Namun dapat
dipastikan, semuanya bermuara pada satu sebab; sesuatu yang berhubungan
dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadi.
Marah atau gembiranya Nabi dapat dibedakan
dari rona wajahnya, karena kulitnya sangat bersih. Bila marah,
pelipisnya memerah. Bila marah dan saat itu sedang berdiri, ia duduk.
Bila marah dalam keadaan duduk, ia berbaring. Seketika, hilanglah
amarahnya.
Bila Nabi sedang marah, tak ada seorang
pun yang berani berbicara padanya, selain Ali bin Abi Thalib. Lepas dari
itu, ia sulit sekali marah, dan sebaliknya, mudah sekali memaafkan.
Kesaksian ini dikutip secara valid oleh Yusuf an-Nabhani dalam “Wasail al-Wushul ila Syamail al-Rasul”.
Bagaimana Nabi marah, padahal ia sendiri melarang umatnya untuk marah?
Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).
Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik
orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan
seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridlai.” (HR. Ahmad).
Jawabannya, kemarahan Nabi itu memang
disebabkan oleh beberapa hal. Namun dapat dipastikan, kesemuanya
bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan
kepentingan agama, bukan kepentingan pribadinya. Nabi perlu marah untuk
memberikan penekanan bahwa hal tertentu tak boleh dilakukan umatnya.
Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan yang lurus,
Nabi perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak elok.
Oleh karena itu, Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah saat mendengar laporan bahwa dalam
medan peperangan, Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah mengatakan la Ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Sedang Usamah membunuhnya karena menyangka
orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Nabi
menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau
membunuhnya setelah dia mengatakan la Ilaha illallah?” (HR. al-Bukhari)
Raut wajah Nabi berubah karena marah,
ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang
mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani
Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Di lain waktu, Nabi melihat seorang lelaki
memakai cincin emas. Melihat pelanggaran agama itu, Rasulullah marah.
Ia lantas mencabut cincin lelaki itu dan melemparkannya ke tanah. “Salah
seorang di antara kalian dengan sengaja menceburkan diri ke jilatan api
dengan menggunakannya (cincin emas, penj) di tangannya,” sabda Nabi (HR. Muslim)
Pada kejadian lain, di pasar Madinah,
terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang Yahudi.
Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang
telah memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini
membuat sahabat Nabi Muhammad itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu
mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia
lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam di
tengah-tengah kita?” ujarnya.
Orang Yahudi tersebut tak terima dengan
perlakuan sahabat Nabi. Ia pun bergegas datang menemui Nabi Muhammad
untuk melaporkan kejadian itu. Mendengar aduan itu, Nabi Muhammad marah
dan mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan nabi yang satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak hanya saat perintah Allah dilanggar,
Nabi juga marah bila umatnya tak segera melakukan kebaikan atau
menangguhkan sesuatu yang seharusnya diutamakan. Hal itu sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jarir bin Abdullah yang mengisahkan,
“Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassallam berkhutbah dan mendorong kami
untuk bershadaqah. Namun orang-orang lamban sekali dalam melaksanakan
dorongan itu, hingga terlihat raut kemarahan di wajah Nabi.”
Bila harus marah kepada seseorang, Nabi
tak langsung menegurnya di depan umum. Nabi tak ingin menjatuhkan harga
diri orang yang bersalah itu. Oleh karenanya, ketika ia melihat
seseorang mengarahkan padangannya ke atas dalam shalat–dan hal itu
dilarang, Nabi menegur perbuatan itu dengan bahasa yang umum. Nabi tidak
menyebutkan nama orang yang melakukan hal itu, untuk menjaga
perasaannya. Namun Nabi berkhutbah di depan para sahabat, kemudian
menyampaikan, “Apa yang menyebabkan segolongan orang mengangkat pandangannya ke langit dalam shalatnya?” (HR. Bukhari)
Pertanyaan Nabi ini dalam retorika Arab
disebut dengan istifham inkari, (bentuk pertanyaan untuk mengungkapkan
pengingkaran terhadap sesuatu). Dalam teguran ini, Nabi tak menyebut
nama orang yang berbuat salah di depan umum.
Saat marah, Nabi juga tak ‘bermain tangan’
atau menyakiti fisik. Dalam kesaksian sang istri tercinta Aisyah, Nabi
tak pernah sekalipun memukul wanita atau pembantu. Bahkan, ia tak pernah
memukul apapun, kecuali jika sedang berjihad. (HR. Muslim)
Aisyah menambahkan, Nabi tak pernah
membalas dendam pada hal yang ditujukan pada dirinya, kecuali bila
kehormatan Allah yang dilanggar. Benang merah yang dapat kita simpulkan,
Rasulullah itu bergaul dengan akal, bukan hanya dengan sepengetahuan,
atau bahkan perasaannya belaka (baca: Antara Perasaan, Pemahaman, dan
Akal)
Senarai riwayat menjelaskan, Rasulullah memang tak pernah marah saat dirinya dilecehkan.
Suatu saat, ia duduk di majelis penuh
barakah, dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba datang seorang Arab udik.
Ia meminta bantuan kepada Rasul untuk membayar kewajiban denda. Setelah
memberinya sejumlah harta, dengan lembut Rasul bertanya, “Apakah aku
sudah berbuat baik padamu?”
“Tidak, kamu masih belum berbuat baik,”
jawab pria itu. “Kamu belum berbuat baik,” tambah dia sekali lagi,
seolah memancing kemarahan Nabi. Mendengar itu, amarah sahabat
membuncah. Namun dengan tenang Nabi memberi isyarat agar mereka menahan
diri.
Selanjutnya Nabi mengajak orang itu masuk
ke rumahnya yang terletak di samping masjid. Setelah menambah
pemberiannya, Nabi bertanya, “Apakah aku sudah berbuat baik padamu?”
Kini, orang itu menjawab, “Ya, semoga Allah membalasmu, keluarga, dan kerabatmu dengan kebaikan.”
Nabi kagum dengan ucapan terakhir yang
menyimbolkan kerelaan itu. Tapi ia khawatir dalam hati sahabatnya masih
tersisa ganjalan. Tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka melihat
orang ini di jalan atau di pasar, dalam kondisi masih menyimpan dendam.
Karena itu, ia berpesan, “Dalam hati sahabatku ada sesuatu karena
kejadian tadi. Jadi, jika kamu datang kembali, katakan di depan mereka
ucapan seperti yang kamu katakan padaku barusan. Sehingga sahabatku tak
marah lagi.”
Ya, dalam kejadian itu Nabi tak marah,
karena yang disinggung adalah pribadinya, bukan kepentingan agama. Abu
Islam Muhammad bin Ali memiliki sebuah kitab berjudul “Arba’una Mauqifan
Ghadhaba fiha al-Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam”. Kitab ini
menghimpun 40 riwayat valid tentang kejadian-kejadian marahnya Nabi.
Dapat dipastikan, semuanya karena kepentingan agama, bukan karena
interest pribadi sang Nabi!
Bagaimana dengan kita?
Bayangkan, anak kita yang masih kecil
minta uang saku lima ribu rupiah. Karena hanya ada pecahan lima puluh
ribu, kita berikan semuanya, namun dengan pesan, “Nanti, kembalikan yang
45 ribu.” Ternyata, dia kembali ke rumah di siang hari dan uang itu
sudah ia habiskan semua! Terbayangkah seperti apa kemarahan kita?
Sebaliknya, pulang dari masjid setelah
shalat Ashar, kita dapati anak kita malah asyik bermain game, tidak
shalat di masjid, tidak bersiap-siap pergi mengaji. Apakah kita akan
marah seperti kemarahan pertama?
Seorang suami terkadang marah pada
istrinya bila tak dibuatkan kopi di pagi hari, atau menu makanan yang
dihidangkan tidak sesuai seleranya. Tapi, dia mendiamkan saja istrinya
yang keluar rumah tak menutup aurat.
Tidak seperti Nabi, kita justru sering marah pada hal-hal yang bukan karena kepentingan agama.
Antara Perasaan, Pengetahuan, dan Akal
Melihat cahaya dengan mata, mendengar
suara dengan telinga, mencium bau dengan hidung, merasakan panas atau
dingin di kulit, adalah peran perasaan. Tapi, mengapa seorang anak kecil
misalnya, mendekat dan menyentuh api yang menyala?
Karena baginya, api itu adalah sesuatu
yang bersinar sehingga memantik perhatiannya. Seandainya dia sudah besar
dan mengetahui apa itu api, ia tak akan melakukan tindakan tersebut.
Oleh karena itu, anak kecil itu dapat melihat api dengan matanya, dapat
menyentuh dengan tangannya, tapi ia belum memiliki pengetahuan
(knowledge) tentang hakikat api itu.
Pengetahuan itu berdasarkan pemikiran.
Seseorang mungkin pernah membaca artikel tentang bahaya merokok dan ia
tahu, namun dia masih tetap merokok. Karena itu, pengetahuan belum tentu
memunculkan sikap untuk menjauhi sesuatu. Namun dalam kasus tertentu,
pengetahuan terkadang mencapai derajat akal, sehingga memunculkan suatu
sikap (attitude).
Jadi, ada perbedaan tipis antara
pengetahuan dan akal. Bila ada sesuatu yang membahayakan kemudian kita
menjauhinya, berarti kita sudah menentukan sikap. Karena terkadang kita
tahu, tapi kita tak mengambil sikap apapun.
Kesimpulannya, dengan perasaan kita dapat
merasakan, dengan pemikiran kita dapat mengetahui, sedang dengan akal
atau hati kita dapat menentukan sikap.
Saat marah, di sinilah letak perbedaan
sikap Nabi dan sebagian manusia. Dalam situasi emosi pun, Nabi tetap
dalam kesadaran penuh dan menggunakan akal dengan sempurna, tidak hanya
dengan perasaan. Dengan akal, meski dalam kondisi marah, ia dapat
mengambil sikap untuk melakukan sesuatu yang positif.
Intinya, Nabi tahu dan mampu mengendalikan
emosi, kemudian mau melakukan sesuatu yang dia tahu dan mampu
melaksanakannya. Itulah idealnya: tahu, mampu, dan mau. Sedangkan
sebagian kita, sudah tahu bagaimana meredam kemarahan dan pasti tahu
efek negatif marah dan emosi yang tak terkendali. Kita pun sebenarnya
mampu meredam dan mengendalikannya. Namun, terkadang kita tak mau
melakukannya. Itu artinya, kita tahu dan mampu, tapi kita tak mau.
Dengan kalam lain, berarti kita baru
menggunakan perasaan dan pemahaman, tapi belum mengoptimalkan hati untuk
menentukan sikap. Padahal manusia belum dianggap berakal, sampai dapat
menerjemahkan hasil pemikirannya pada perilaku dan sikap. (lihat QS.
Al-Anfal ayat 72 dan Al-Qashash: 50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar